Sejarah “DESA NITIKAN”
Desa Nitikan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Adapun asal muasal nama “Nitikan” berawal dari cerita Tumenggung Kertonegoro dan pelariannya.
Sejarah tersebut bermula ketika Kraton Mataram masih dalam kekuasaan Hindia-Belanda (VOC). Tumenggung Kertomenggolo yang merupakan punggawa Mataram menghadiri undangan rapat di Kraton Ngayogyakarta bersama 2 anaknya, putra putri yang berusia sekitar 10-12 tahun. Ketika rapat belum selesai, Tumenggung Kertonegoro memiliki firasat yang tidak enak pada kedua anaknya yang ditinggal main di luar bersama anak Belanda lain. Alangkah terkejutnya ketika diketahui bahwa putranya berada dalam kerumunan, dimana salah seorang anak Belanda meninggal dunia dengan kondisi perutnya terkena benda tajam dan bagian dalam tubuhnya terkoyak keluar.
Karena merasa bahwa putranyalah yang melukai anak Belanda, seketika dengan sigap Tumenggung Kertonegoro membawa lari kedua anaknya menuju ke wilayah timur. Sementara itu, pihak Belanda yang mengetahui hal tersebut segera memerintahkan bala tentara dan kroninya untuk mencari dan menangkap mereka. Namun tak ditemukannya, karena Tumenggung Kertonegoro ternyata memilih melewati hutan belantara. Pelarian ini tidak diketahui memakan waktu berapa lama mengingat kondisi alam pada waktu itu sangat sulit dilalui, hingga mereka melewati rute menaiki punggung gunung bagian selatan Gunung Lawu.
Dikarenakan bekal makanan yang dibawa tidaklah cukup, tempat tujuan yang tidak terarah, dan waktu perjalanan yang tidak diketahui berapa lama akan aman dari kejaran Belanda, maka apabila kelaparan, apa yang ada dihadapannya itulah yang dijadikan santapan. Seperti tumbuhan laos dan buah pahit pun juga dikonsumsi demi bertahan hidup. Bahkan perjalanan sulit melewati hutan bambu hingga merasa gatal-gatal karena bulu bambu pun dilalui oleh Tumenggung Kertonegoro hingga merasa aman dari kejaran Belanda. Setelahnya ia menyeberang sungai ke wilayah timur yang sekarang dikenal dengan Kali Gandong.
Saat melihat arah barat, Tumenggung Kertonegoro naik lagi ke atas. Disitulah pertemuan pertamanya dengan 3 priyayi yang tidak diketahui namanya, diantaranya 1 orang yang sedang meniti (mengoreksi) batas-batas babat wilayah (sekarang menjadi wilayah desa Nitikan), 1 orang yang membuat dadung (tali atau tambang), dan 1 orang wanita yang tengah menyajikan buah-buahan legen (buah manisan) bersama beberapa orang lainnya. Mereka saling bahu membahu menyelesaikan pekerjaan babat alas sebagai pengembangan wilayah yang digunakan untuk pemukiman dan bercocok tanam. Di dalam pertemuan tersebut, priyayi lain mendekat untuk menyambut kedatangan Tumenggung Kertonegoro yang dianggapnya sebagai priyayi baru, sebab ia masih berpakaian kraton.
Karena masih merasa khawatir seandainya Belanda menemukan keberadaannya, tak berfikir lama Tumenggung Kertonegoro hendak menitipkan putranya yang bernama Kertomenggolo kepada 3 priyayi tersebut. Dengan spontan Tumenggung Kertonegoro menyebut juru peniti batas wilayah dengan sebutan Kyai Niti, kemudian pembuat tambang (dadung) disebut Kyai Dadung, dan penyaji legen disebut Nyai Legi. Namun, ketiga orang tersebut merasa tidak sanggup membesarkan Kertomenggolo, sebab tidak tersedianya bahan makanan, terlebih makanan bagi keturunan Tumenggung (kraton). Meraka lantas menyarankan untuk menghadap ke Kanjeng Adipati Ki Mageti selaku pemangku Kadipaten Magetan.
Mendengar arahan tersebut, awalnya Tumenggung Kertonegoro menolak karena takut apabila di perjalanan justru malah berpapasan dengan Belanda. Beliau kemudian memohon untuk diantar Kyai Niti beserta beberapa warga lainnya menuju Kadipaten. Sesampainya disana, Adipati Ki Mageti memberikan saran kepada Kyai Niti untuk mengasuh dan membesarkan Kertomenggolo, dengan memberinya bekal cadangan makanan kurang lebih selama 3 bulan kedepan, beserta memberinya benih ubi-ubian untuk ditanam yang diperkirakan akan siap dipanen dalam waktu 3 bulan tersebut. Kyai Niti pun akhirnya menerima perintah Adipati Ki Mageti. Sedangkan kepada Tumenggung Kertonegoro, Adipati Ki Mageti memerintahkan pelariannya “TITIK” pada batas akhir di wilayah wewengkon Kyai Niti saat itu, sebab wilayah timurnya sudah banyak bertebaran orang Belanda. Di samping itu Adipati Ki Mageti juga memberikan wejangan, apabila Tumenggung Kertonegoro menghendaki untuk mencari persembunyian hanya ada 2 pilihan, yakni ke arah utara atau arah selatan.
Setelah pamit dan kembali ke wilayah Kyai Niti, mulailah ia menjelaskan pada warganya mengenai perintah Adipati Ki Mageti tentang pengasuhan Kertomenggolo. Mereka saling menerima dan memulai kerjasama menata dan menanam ubi-ubian sesuai arahan Adipati Ki Mageti. Di waktu itu pula, Tumenggung Kertonegoro menyerahkan Kertomenggolo kepada Kyai Niti beserta warga lainnya untuk diasuh. Sebelum ia meninggalkan wilayah wewengkon tersebut dan membawa putrinya yang bernama Singojoyo untuk pergi bersamanya, Tumenggung Kertonegoro dawuh “Sesuai perintah Adipati Ki Mageti yang menyatakan tempat ini merupakan TITIK akhir perjalanan saya ke wilayah timur, beserta disinilah wewengkon Kyai Niti maka wewengkon ini saya namakan “WEWENGKON NITIKAN”.
Dari sinilah tonggak awal bermulanya nama “NITIKAN” ada sampai sekarang. Sejarah di atas ditulis berdasarkan informasi dari narasumber yang masih hidup saat ini, yakni Bapak Kyai Haji Bejo Nitikan, Bapak Kyai Wasnoto Nitikan, Bapak Kyai Haji Kasri Nitikan, dan Bapak Kyai Kadar – Modin Sepuh Nitikan. Semoga tercurah umur yang panjang dan berkah pada beliau.(Diskominfo / kontrib.llk / fa2 / IKP1)