PESONA MAGETAN : Catatan Hendry CH Bangun Waktu Berkunjung ke Magetan

PESONA MAGETAN : Catatan Hendry CH Bangun Waktu Berkunjung ke Magetan

Oleh: Hendry CH Bangun

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saya ditelpon Bupati Magetan, Suprawoto. “Mas Hendry datang ke Magetan ya. Nanti ada pelantikan SMSI di sini,” ujar suara di ujung sana.

“Siap. Kalau Bapak yang undang saya pasti datang,” begitu jawaban yang saya sampaikan. Saya diundang karena didapuk sebagai Penasehat di Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), organisasi perusahaan pers online yang telah ditetapkan menjadi konstituen Dewan Pers. Sekaligus saya juga diminta menjadi pembicara di kalangan staf humas dinas-dinas di kabupaten paling barat Jawa Timur ini.

Saya sudah lama kenal mantan Sekjen Kementerian Kominfo ini baik ketika menjadi pengurus PWI Pusat maupun Anggota Dewan Pers. Walaupun jarang bertemu karena pribadinya hangat, komunikasi terjalin lancar, entah via WA atau melalui telpon. Tidak terhitung pula kami bertemu di berbagai kesempatan, termasuk bandar udara saat akan terbang.

Saya sering ke daerah tingkat dua di Jawa Timur baik untuk urusan verifikasi media, diskusi, seminar, menjadi narasumber, saat masih di Dewan Pers, tetapi tidak pernah ke Magetan. Madiun, Tulungagung, Kediri, Blitar, sudah berkali-kali, begitu pula ke Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, Gresik, Malang, Batu dst. Jadi saya tertarik juga karena kebelumpernahan itu. Ada rasa penasaran.

Kalau saja perjalanan normal, semestinya saya masih sempat menikmati senja menjelang malam dalam perjalanan dari Solo ke Magetan, melewati daerah wisata yang indah, wilayah pegunungan yang juga berudara dingin. Nyatanya, pesawat Garuda yang saya tumpangi dan mestinya mendarat sekitar pukul 17.00, berputar-putar sekitar satu jam setengah di atas kota Solo karena jarak pandang di atas Bandara Internasional Adi Sumarno sangat terbatas.

Saya tidak gugup karena secara statistik angkutan udara paling aman dibandingkan dengan angkutan darat dan laut. Peristiwa terbang yang lebih mendebarkan pernah saya alami, jadi saya berdoa saja. Hanya saja saya kasihan karena teman yang akan menjemput pastilah bingung, kok waktu mendaratnya molor begitu lama. Penerbangan selama 58 menit, berubah menjadi 140 menit. Mereka berangkat dari Magetan dan berada di bandara sejak puku 16.00.

*

Ketika bergerak dari Bandara sekitar pukul 19.00 kota Solo sudah gelap. Masuk tol sebentar kami lalu ke luar di Palur dan masuk Karang Anyar. Sekitar satu jam kemudian kami mulai bergerak di lereng Gunung Lawu, dengan tanjakan dan juga turunan. Udara dingin dan gerimis mulai terasa. Walaupun perut lapar, kami sepakat makan di daerah Cemoro Kandang, titik tertinggi untuk dilalui kendaraan, 1830 meter dari permukaan laut.

Waktu menunjukkan pukul 21.00, di tengah gerimis yang cukup deras dan udara dingin sekitar 18 Celsius, kami menyantap hidangan hangat. Ada nasi goreng, sate kelinci dan sate ayam, saya sendiri memilih pecel, yang rasanya tidak beda dengan pecel Kediri atau Madiun yang pernah saya makan dengan perasaan nikmat. Uap sudah keluar dari mulut ketika kami bicara, pakai jaket pun dingin masih menusuk terutama karena tiupan angin di leher Gunung Lawu yang puncak tertingginya mencapai 3.265 meter.

Di tengah perjalanan saya diceritakan mengenai kesaktian Gunung Lawu yang selalu dikunjungi mereka yang ingin meraih jabatan dalam pemerintahan, pusat maupun daerah. Dipercaya bahwa raja terakhir Majapahit, Prabu Brawijaya, menjadikan wilayah ini sebagai pertapaannya setelah undur diri dari kekuasaan. Di sana sesembahan, yang wajib dikunjungi, dan dipercaya akan sukses terpilih. Saya bayangkan, menjelang Pemilu dan Pilpres 2024, pastilah tempat ini akan ramai didatangi orang-orang yang percaya.

Sebagai wartawan cerita-cerita itu tentu menarik untuk ditulis, meskipun mungkin sulit untuk memergoki para tokoh melakukan ritual di gunung ini, kecuali kita termasuk orang dalam atau masuk menjadi tim sukses. Ada cerita dimuat di media sosial yang menggambarkan keangkeran dari Gunung Lawu, dan bahkan dinobatkan sebagai gunung paling angker di Indonesia, karena mitos maupun kesaksian mereka yang pernah mendakinya. Wallahu alam.

Yang menarik hati saya justru banyaknya penginapan dan kedai kopi serta tempat makan yang terang benderang meskipun bukan hari libur. Memang benar, dengan andalan utama Telaga Sarangan, inilah daerah wisata paling terkenal di Magetan yang mendatangkan Pedapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi. Ada puluhan penginapan dan kuliner, saat kami mulai menuruni dataran tinggi menuju kota Magetan.

Jalanan yang basah, gerimis, dan turunan terjal yang meliuk-liuk, membuat rasa kantuk pun hilang. Apalagi setelah kemeriahan lampu bangunan hilang, yang ada hanya kegelapan di luar jendela kendaraan. Keesokan harinya ketika kami kembali ke wilayah ini, barulah terlihat jelas keindahan bukit-bukit hijau dengan udara yang segar. Wajar kalau tidak hanya dari Solo atau Jawa Timur, wisatawan yang datang juga termasuk dari wilayah yang jauh.

Program prioritas Bupati Suprawoto adalah pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah, yang melibatkan puluhan ribu warga Magetan. Batik Magetan berkembang pesat karena dipakai untuk baju seragam selain untuk ASN juga pelajar, pada hari tertentu, tidak lagi batik dari daerah tetangga. Produk makanan berbahan lokal digenjot untuk mengisi pasar oleh-oleh.  Disajikan dalam kemasan standar, dengan hiegenitas yang terjaga, wisatawan merasa layak untuk membawanya  pulang sebagai kudapan selain dicicipi di daerah wisata.

Magetan juga terkenal sebagai penghasil tanaman seperti wortel, kentang, kubis, dan ada pasar khusus untuk produk terbaik. Meski buah durian tidak begitu banyak, tetapi sudah diadakan lomba untuk mencari desa dan petani penghasil durian terbaik. Yang terbaik atau juara kontes itu kemudian diberi label geografi dan dimasukkan ke medsos. Jadi peminat bisa langsung datang ke tempat karena diserta lokasi tumbuhnya.

Kami diajak ke tujuan wisata Genilangit yang dikelola Badan Usaha Milik Desa. Ketika kami datang belasan orangtua dan anak-anak mereka sedang mandi di kolam renang, yang di atasnya ada kursi gantung sepanjang kurang lebih 50 meter. Tempat ini sebelumnya adalah persemaian bibit milik Perhutani, tapi kemudian menjadi untuk memberi kesempatan warga desa mengelola untuk mengisi kas desa dan memberi ruang kerja bagi warga setempat.

Dulu kayu-kayu Perhutani sering dicuri. Setelah menjadi tujuan wisata, tidak ada lagi pencurian karena yang mengelola warga dan manfaatnya mereka rasakan,” kata Suprawoto.

Seluruh pendapatan dari Genilangit, sesuai nama desanya, dimiliki pengelola, dan tidak ada yang dipungut untuk Pemkab Magetan. Malahan titik wisata didukung dengan pelebaran jalan dan fasilitas umum lainnya serta dipromosikan agar lebih dikenal.

Berbeda dengan Telaga Sarangan, yang dikelola sebagai usaha untuk memberikan pemasukan yang besar. Ditargetkan pada tahun 2023 ini PAD dari Sarangan mencapai Rp 11 milyar, yang artinya sebagian besar dari pendapatan PAD wisata yang tahun 2022 sekitar Rp 16 milyar. Kalau di Genilangit pengunjung per minggu sekitar 1.000 orang, di Sarangan ini turis yang datang bisa mencapai 10.000 per minggu.

Kami juga sempat menjajal speedboat di telaga yang luasnya mencapai 3 kilometer ini. Serasa seperti ikut berlomba Power Boat Interasional yang dilakukan bulan lalu di Danau Toba, Sumatera Utara, karena pengemudinya sudah dipesan untuk membuat belokan-belokan yang tajam. Betul ada sensasi tersendiri menikung tajam dan badan hampir menyentuh air, tapi perut pun bisa mual hendak muntah.

*

Ketika menjadi pembicara di forum kehumasan, saya menekankan perlunya kedekatan antara media dengan humas, meski tetap harus menjaga jatidiri dan etika masing-masing. Teman tapi beda, begitu istilah yang saya pakai.

Kedua pihak saling membutuhkan. Walaupun medsos sudah berkembang, media massa masih lebih kredibel untuk menjadi sumber informasi, sehingga pemerintah daerah tidak boleh mengesampingkan. Harus bekerja sama, dan juga dapat menjadi sumber pendapatan bagi media dalam bentuk advertorial dll. Sebaliknya media harus mengambil sudut pandang positif agar daerah tempat dia hidup maju dalam segala hal, ekonomi, sosial, budaya maupun partisipasi publik.

Sudah buka zamannya lagi bad news is good news. Dengan tsunami informasi yang memenuhi ruang-ruang digital, masyarakat membutuhkan berita baik, yang menginspirasi, yang memberi wawasan, yang memberi semangat, yang dapat memberikan contoh sukses. Kritik tentu saja harus dilakukan media massa, tetapi semangatnya adalah memberi solusi, mencari jalan keluar untuk kemaslahatan orang banyak,  bukan sekadar nyinyir dan membesar-besarkan kekurangan atau kesalahan.

Saya merasa perlu bertanya, kalau daerah kalian melulu dilanda ketegangan, konflik, saling menyalahkan, yang lalu berakibat buruk bagi semangat membangun, membuat ekonomi mandeg, apakah media Anda bisa hidup? Tentu belanja iklan dan kemitraan media akan menurun anggarannya.

Media di Thailand pernah mengoreksi diri ketika dari semula mengekspos besar-besaran kerusuhan, pengeboman, yang membuat turis takut datang dan ekonomi terpuruk, mereka akhirnya merasa rugi sendiri, karena ruang hidup, ekosistem media akan ikut rusak. Tidak ada devisa masuk, tentu dampak negatifnya juga melanda media.

Memberi pemahaman seperti ini saya kira perlu. Dalam kondisi menurunnya konsumsi berita di media massa oleh masyarakat karena mereka semakin gemar mencari informasi di media sosial, perubahan perilaku audiens media karena kemajuan teknologi informasi, dan semakin tergerusnya belanda iklan akibat banyak diserobot platform global dan medsos, pengelola media massa khususnya di daerah harus mencari pembaca dengan pemberitaan bersudut pandang positif.

Ada berapa banyak orang sukses di wilayah kita yang belum tekspos, pelajar berprestasi, petani yang berhasil, tokoh sosial, politik, budaya, yang selama ini terabaikan.? Ini salah satu kekuatan media lokal yang belum tergarap. Dan tentu saja produk jurnalistiknya harus tetap menjunjung tinggi etika dan mencapai standar jurnalistik secara umum.

Kalau mampu menjawab ini, media lokal akan bertahan seberapa besarnya pun intervensi dari media sosial. Dan tidak perlulah dipikirkan itu soal publisher right yang lagi ramai dibicarkan oleh kalangan pers di Jakarta. Ribet dan tidak punya kaitan langsung juga dengan media lokal yang masih tergolong UMKM.

Ciputat, 18 Maret 2023.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *