Gali Mutiara Kesenian Yang Tersembunyi, Thongkling dan Ledhug, Satukan Seni, Sosial, Relegi dan Ekologi

Gali Mutiara Kesenian Yang Tersembunyi, Thongkling dan Ledhug, Satukan Seni, Sosial, Relegi dan Ekologi.

Dibuka oleh “Gending Kutut Manggung” dari kesenian Gandhang Ki Mageti buka pagelaran Mbulan Ndadari edisi ke 17, hibur undangan dan siswa siswi SMP, dan SMA yang duduk lesehan Pendopo Surya Graha.

Kesenian thongkling dari Wonomulyo, dan ledhug sebagai kesenian khas asli Magetan,hadir dengan ritme musikalitas etnik, yang energik lalu hibur dan hangatkan suasana malam.

Winarto pegiat kesenian thongkling dikesempatan ini dipandu MC, kemudian menceritakan

kesenian kentong suling atau thongkling, yang terinspirasi dari babat tanah Wonomulyo, bermula dari sejarah tutur dari alas jogo larangan, dimana Ki Hajar Wonokoso membabat tanah tersebut, dan mendapat pertentanga dari tokoh-tokoh sebelumnya, hingga kemudian menggunakan cara dengan memukul kentongan di tiap jam 12 malam, dan melanjutkannya denga tiupan seruling.kesenian ini dimaksud jika ingat kentong dan suling untuk kembali mengingat leluhur.

Sedang Wahyu pegiatan kesenian ledhug menjelaskan, “Kesenian ledhung merupakan kesenian dengan instrumen lesung dan bedhung sebagai elemen utamanya, dengan pendekatan transendental sebagai perpaduan antara unsur lesung sebagai kesenian jawa dan tradisi bedug yang islami+

Dr Anton Rustandi Mulyana, M.Sn , sebagai narasumber utama menjelaskan kajian tentang kesenian thongkling dan ledhug ini, dimana didalamnya ada tiga hal utama, yang terkait jika dihubungkan dengan seni di Magetan yaitu terkait dengan leluhur utamanya yaitu Ki Mageti, budaya kerukunan, dan yang ketiga adalah literasi.

Anton menemukan hal itu saat melakukan pengamatan terhadap kesenian di Magetan, “Adanya ekspresi seni dari masyarakat Magetan, yang terwujud di thongkling dan ledhug, sebagai kesenian sosial, bagaimana kreasi dari masyarakat ini membuat ikatan sosial , dari keberagaman ini menjadi kesatuan, menyusun mitos menjadi semangat kerukunan dan kebersamaan. ” ungkap Anton.

“Seni menjadi penyatu dan tidak menjadi akselerator polarisasi sosial dari masyarakat Magetan, dengan sifatnya yang dinamis tidak statis seni ledug dan thongkling selalu berkembang, hingga unsur seni, sosial dan relegi menjadi satu kesatuan dengan kreatifitas. Selain itu dengan kesenia ledhug dan thongking mengajak masyarakat untuk kedepannya memikirkan ekologi, keseimbangan dan keberlanjutan alam.” pungkas Anton.(Diskominfo / fa2 / IKP1)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *